Tok Tok Tok, Fadli Zon Sahkan RUU MD3, Mulai Saat Ini Rakyat Yang Menghina Anggota Dewan Akan Dipidana

No Comments



Www.Royalku.com - Tiga pasal dalam Undang-Undang MPR, DPD, DPR, dan DPRD (MD3) yang baru saja disahkan sore ini mengundang polemik. DPR mendapatkan tiga kuasa tambahan, yakni pemanggilan paksa dalam rapat DPR, imunitas, dan antikritik.

Ketiga pasal tersebut adalah tambahan pasal 73 mengenai mekanisme pemanggilan paksa dengan bantuan polisi, tambahan pasal 122 mengenai langkah hukum Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) kepada siapa pun yang merendahkan DPR dan anggota DPR, serta tambahan pasal 245 pemanggilan dan permintaan keterangan penyidik kepada DPR harus mendapat persetujuan tertulis presiden dan pertimbangan MKD.

Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi), Lucius Karus, mengungkapkan munculnya ketiga pasal itu justru merusak tatanan kenegaraan selama ini. DPR bakal garang terhadap pengkritik dan kebal terhadap kasus yang menjerat anggotanya. Malah mereka rentan mengkriminalkan masyarakat yang mengkritik DPR.

Image result for Meme Fadli zon


"Jika mereka dikasih keistimewaan, maka serentak negara akan hancur karena itu artinya memberikan peluang pada penguasa atau elite untuk bertindak melawan hukum sesuka mereka dengan kekuasaan yang ada pada mereka," ucap Lucius, Senin (12/2/2018).

Ia menganggap masuknya tiga tambahan pasal-pasal tersebut bukan saja ambisi tersembunyi DPR, tapi juga sikap moral DPR ke depan yang masih menjadikan korupsi sebagai 'primadona'. Makanya mereka ingin mengamankan posisi melalui revisi UU MD3.

Data pemberitaan detikcom menyebutkan Mahkamah Konstitusi (MK) pernah mengubah syarat persetujuan tertulis dari MKD atas pemanggilan dan pemeriksaan anggota DPR oleh penegak hukum pada UU No. 17 Tahun 2014 tentang MD3 pada 22 Desember 2015. Putusan MK No. 76/PUU XXII/ 2014 merekonstruksi mekanisme pemeriksaan anggota DPR yang tadinya harus melalui persetujuan tertulis MKD menjadi sebatas izin presiden saja.

Namun pada 15 November 2017, juru bicara MK Fajar Laksono mengungkapkan izin presiden ini hanya menyangkut pidana. Izin presiden tidak perlu diperoleh penegak hukum jika menyangkut tindak pidana kejahatan yang diancam hukuman mati atau pidana seumur hidup atau pidana kejahatan terhadap kemanusiaan dan keamanan negara, serta disangka melakukan pidana khusus.

Lucius menganggap keinginan DPR diperlakukan khusus ketika berhadapan dengan penegak hukum tidak logis dan rasional. Prinsip ini bertentangan dengan kesamaan semua warga negara di depan hukum. "Pastinya, jika aturan ini disepakati, menjadi lebih mudah bagi DPR untuk 'bermain' di waktu-waktu yang akan datang," jelas Lucius.

Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW) Donal Fariz menyebutkan pasal-pasal ini hanya membuat DPR antikritik dan kian tak tersentuh hukum. Ia menyebutkan selama ini hanya KPK yang berani menindak anggota DPR. Kasus anggota DPR di kejaksaan ataupun kepolisian selalu menguap.

"Sebenarnya dengan ini mereka sudah imun. Sebut saja kasus 'papa minta saham' atau dulu ada anggota DPR dari Fraksi PDIP Masinton Pasaribu soal kasus kekerasan, kan tidak ada kelanjutan," kata Donal.

Jika KPK sendiri kemudian dibatasi dengan imunitas ini, DPR menjadi salah satu lembaga yang superbodi. Padahal keterlibatan korupsi anggota DPR dalam berbagai kasus korupsi ataupun suap selama ini cukup mengkhawatirkan. Berbagai putusan pengadilan tipikor menunjukkan bahwa anggota DPR yang terjerat kasus korupsi selalu menyalahgunakan kewenangan dalam penganggaran hingga mengatur proyek.

Delapan Fraksi Setuju, Fadli Zon 'Ketok Palu' RUU MD3

Rapat paripurna DPR yang juga dihadiri Pemerintah telah mengesahkan Rancangan Undang Undang tentang perubahan kedua atas Undang undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (DPRD) menjadi Undang-undang.

Meski diwarnai aksi walk out dari dua fraksi yakni Fraksi Partai Nasdem dan Fraksi PPP, namun pimpinan sidang rapat paripurna Fadli Zon tetap menanyakan pengesahan Revisi UU MD3 tersebut kepada peserta rapat paripurna.

"Selanjutnya kami menanyakan apakah Rancangan Undang Undang atas perubahan kedua tentang UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MD3 bisa disahkan menjadi UU?" ujar Fadli di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta pada Senin (12/2).

Kemudian, oleh seluruh anggota DPR dari delapan fraksi yang hadir menyetujui untuk pengesahan revisi Undang-undang tersebut yang kemudian ditandai dengan ketuk palu sidang oleh Fadli Zon.


Sebelum disahkan, Ketua Badan Legislasi DPR Supratman Andi Agtas memaparkan 14 substansi dalam perubahan UU MD3 tersebut.

Antara lain penambahan pimpinan MPR, DPR dan DPD serta penambahan wakil pimpinan MKD serta penambahan rumusan mekanisme pimpinan MPR dan DPR dan alat kelengkapan dewan hasil pemilu 2014.

Serta ketentuan mengenai mekanisme penetapan pimpinan MPR DPR dan AKD setelah Pemilu 2019.

Tak hanya itu, substansi perubahan lainnya yakni perumusan kewenangan DPD dalam memantau dan evaluasi rancangan peraturan daerah (Raperda) dan Perda. "Juga penambahan rumusan kemandirian DPD dalam rumusan anggaran," ungkap Supratman.

Supratman melanjutkan, dalam substansi perubahan UU MD3 Juga mengatur rumusan tentang pemanggilan paksa dan penyanderaan terhadap pejabat negara atau warga masyarakat secara umum yang melibatkan kepolisian. "Penguatan hak imunitas anggota DPR dan pengecualian hak imunitas DPR," ujarnya.

Pengkritik DPR Bisa Dipidana, Bamsoet: Untuk Jaga Kehormatan

Salah satu pasal kontroversial di UU MD3 yang baru direvisi adalah tentang pengkritik DPR yang bisa dipidana. Ketua DPR Bambang Soesatyo menyebut aturan itu untuk menjaga kehormatan DPR.

"Proteksi itu atau apa namanya undang-undang untuk melindungi kehormatan anggota Dewan tidak bisa dipakai sembarangan," ujar pria yang akrab disapa Bamsoet ini di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin (12/2/2018).

"Artinya memang betul-betul untuk kehormatannya. Maka setiap warga negara, jangankan DPR, setiap warga negara punya hak untuk melindugi kehormatannya. Jadi menurut saya tidak perlu dipersoalkan," tambahnya.

Pasal kontroversial lainnya adalah pasal 245 yang berisi aturan tentang pemeriksaan anggota DPR harus melalui izin Presiden setelah melalui pertimbangan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD). Bamsoet menegaskan bahwa kewenangan MKD itu hanya berupa pertimbangan dan tidak bertujuan untuk menggagalkan suatu proses hukum.

"Saya balik bertanya, mempertimbangkan itu suatu keharusan bukan? Untuk menggagalkan suatu pemeriksaan, nggak kan?" kata Bamsoet

Pertimbangan MKD pun, menurutnya, bisa dipakai atau tidak oleh Presiden. "Artinya tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Kata mempertimbangkan itu adalah masukan bisa dipakai bisa tidak," jelas politikus Partai Golkar itu.

Ini Bunyi Aturan Polisi Bisa 'Sandera' Pihak yang Mangkir dari DPR

Pemerintah dan DPR menyepakati aturan yang 'mewajibkan' polisi membantu DPR memanggil paksa individu atau lembaga yang mangkir ketika dipanggil DPR. Aturan itu bahkan menyebut polisi bisa menyandera objek yang diminta dipanggil paksa oleh DPR.

Adapun aturan yang direvisi ada di Pasal 73 Undang-Undang No 17/2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3).

"Jadi bagi setiap orang yang dipanggil oleh DPR dalam rapat-rapat untuk penjelasan dan sebagainya yang kemudian mangkir, maka ada upaya paksa. Upaya itu dilakukan oleh Polri. Karena ini menghambat proses," ucap Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) Firman Soebagyo kepada wartawan, Kamis (8/2/2018).

Menurutnya, hal ini patut dilakukan oleh DPR sebagai lembaga negara yang memiliki fungsi pengawasan. Selama ini, DPR sulit melakukan pemanggilan paksa karena Polri tidak memiliki regulasi yang sejalan dengan DPR.

Karena itu, soal kewajiban ini pun akan turut diatur dalam Peraturan Kapolri (Perkap). Pemanggilan paksa ini, dijelaskan Firman, berlaku bagi lembaga atau instansi negara yang tak mau hadir meski sudah berkali-kali dipanggil DPR.

"DPR kan lembaga negara yang punya tugas dalam fungsi pengawasan. Kalau dia tidak hadir berturut-turut, maka kita bisa minta bantuan polisi manggil dengan paksa. Itu nanti diatur dalam peraturan kepolisian RI," terang politikus Partai Golkar itu.

Revisi dalam Pasal 73 ini juga menyebutkan secara jelas bahwa kepolisian dapat melakukan 'penyanderaan' maksimal 30 hari kerja dalam rangka pemanggilan paksa. Untuk melakukan hal itu, Pimpinan DPR dapat mengajukan permintaan tertulis kepada kepolisian untuk kemudian ditindaklanjuti.

Adapun perubahan dalam Pasal 73 di UU MD3 adalah sebagai berikut:

(1) DPR dalam melaksanakan wewenang dan tugasnya, berhak memanggil pejabat negara, pejabat pemerintah, badan hukum, atau warga masyarakat secara tertulis untuk hadir dalam rapat DPR

(2) Setiap pejabat negara, pejabat pemerintah, badan hukum, atau warga masyarakat wajib memenuhi panggilan DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

(3) Dalam hal pejabat negara dan/atau pejabat pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak hadir memenuhi panggilan setelah dipanggil 3 (tiga) kali berturut-turut tanpa alasan yang sah, DPR dapat menggunakan hak interpelasi, hak angket, atau hak menyatakan pendapat atau anggota DPR dapat menggunakan hak mengajukan pertanyaan

(4) Dalam hal badan hukum dan/atau warga masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak hadir setelah dipanggil 3 (tiga) kali berturut-turut tanpa alasan yang sah, DPR berhak melakukan panggilan paksa dengan menggunakan Kepolisian Negara Republik Indonesia

(5) Panggilan paksa sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:
(a) pimpinan DPR mengajukan permintaan tertulis kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia paling sedikit memuat dasar dan alasan pemanggilan paksa serta nama dan alamat badan hukum dan/atau warga masyarakat yang dipanggil paksa; dan
(b) Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia memerintahkan Kepala Kepolisian Daerah di tempat domisili badan hukum dan/atau warga masyarakat yang dipanggil paksa untuk dihadirkan memenuhi panggilan DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (4)

(6) Dalam hal menjalankan panggilan paksa sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf b Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat menyandera badan hukum dan/atau warga masyarakat untuk paling lama 30 hari

(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemanggilan paksa sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf b dan penyanderaan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diatur dengan Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia

sumber: detik.com & republika.co.id











Dear readers, after reading the Content please ask for advice and to provide constructive feedback Please Write Relevant Comment with Polite Language.Your comments inspired me to continue blogging. Your opinion much more valuable to me. Thank you.